Thursday, February 28, 2013

Review: Dwilogi Padang Bulan - Cinta di Dalam Gelas by Andrea Hirata

Yak kembali lagi ke review buku-bukuuu!

Jadi ini untuk menjawab pertanyaan kita semua di postingan gue yang ini, dimana Maryamah Karpov gak terjelaskan dengan baik di buku yang memakai judul namanya itu.

Sebelumnya lagi-lagi gue menemukan buku ini di LIA Pramuka dan... Gue peminjam pertama lhoo. Pas banget juga gue disuruh bikin resensi sama sekolah, jadi sebelumnya mari kita simak duluu resensi tugas sekolah gue. Ini asli bikinan gue ya dan gue nge-post ini setelah gue kumpulin sama gurunya yaa.

***



Epos Modern, Perjuangan Wanita Melayu di Atas Papan Catur


Judul               : Dwilogi Padang Bulan: Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Pengarang      : Andrea Hirata
Penerbit          : Bentang
Tahun terbit    : 2010
Cetakan          : Cetakan kedua
Tebal buku     : xiv + 252 dan xiii + 264
Harga              : Rp 76,500


Enong merupakan salah satu dari sekian banyak anak kecil di dunia ini yang tiba-tiba ditinggal oleh sang ayah tercinta. Hanya saja Enong merupakan segelintir dari mereka yang harus mengambil alih posisi kepala keluarga dan mencari nafkah. Enong terpaksa harus putus sekolah dan membuang jauh-jauh cita-citanya sebagai seorang guru bahasa Inggris. Setelah gagal merantau di Tanjong Pandan akhirnya Enong mengikuti jejak ayahnya, menjadi pendulang timah. Tekad si kecil Enong yang luar biasa telah melewati cobaan dari cemoohan hingga yang paling berat sekalipun termasuk percobaan pembunuhan dalam perebutan timah, tenyata memampukan ia menjadi pendulang timah wanita pertama di Belitong.
            Di dalam sekuel kedua dwilogi ini, Enong kembali mengalami cobaan. Kali ini ia berjuang untuk menegakkan emansipasi wanita di kampungnya ─dengan bertanding catur. Menjadi seorang wanita tak berpendidikan di sebuah kampung Melayu yang menganut syari’at Islam taat mengenai derajat seorang wanita sampai hukum muhrim membuat hal ini nyaris mustahil. Terlebih lagi Enong harus melawan kenyataan bahwa ia tak pernah memegang bidak catur dan bahwa catur merupakan simbolisasi seorang penghancur hidupnya, ─sang mantan suami.
            Kisah mengenai perjuangan hidup yang dialami seorang perempuan kaum marginal di daerah terpencil wilayah Indonesia ini dikemas secara apik dengan soft cover berhiaskan lukisan pelukis Bali, Budi Gugi, yang secara kurang lebih menggambarkan ceritanya. Pada Padang Bulan yang memang kental nuansa percintaannya, terpampang lukisan dua merpati di atas pohon yang cantik. Pada Cinta di Dalam Gelas, tampak orang-orang yang seperti ingin menyampaikan kesan sosial yang tergambar di masyarakat Melayu tersebut. Nilai tambah terutama didapat dari bersatunya dua buku dalam dwilogi tersebut. Hal ini selain memberikan kesan unik tetapi juga membuat kisah-kisah Enong dapat dibaca secara tuntas tanpa harus membawa beberapa buku dalam satu waktu. Menggunakan bahan kertas yang kuat namun lentur memberikan bobot yang ringan pada buku ini. Sehingga meskipun dengan ukuran 20x13cm, buku ini masih nyaman untuk dibawa-bawa.
Barangkali berbekal dari pengalamannya, Dwilogi Padang Bulan dipenuhi oleh perjuangan dan pembelajaran seseorang. Masih dengan gayanya yang menggunakan perbendaharaan kata Melayu membuat buku ini menjadi sarat makna tetapi juga menjadi pisau bermata dua, karena terkadang sulit dimengerti. Tak hanya tata bahasa, Andrea Hirata menawarkan jalan cerita unik yang tidak menjadi tren di masyarakat. Namun tak dapat dipungkiri hal ini membuat karya Andrea Hirata menjadi menarik. Masa kecil Andrea Hirata di perkampungan Melayu membuatnya telah melewati riset mendalam selama bertahun-tahun dan semakin mendetailkan latar cerita. Terlebih lagi Andrea Hirata menggunakan sudut pandang orang pertama sehingga ia semakin leluasa dalam mengisahkan segala sesuatu. Gayanya yang menyelipkan bahan tertawaan yang meskipun terkadang tidak diperlukan tetapi mampu membuat buku ini tidak kering dan melulu terfokus dalam satu titik. Turut menyuguhkan perspektif politik kaum marginal dan nilai-nilai yang terlupakan, Andrea Hirata telah menjadikan buku ini kaya akan makna kehidupan.
            Andrea Hirata merupakan seorang penulis kelahiran Belitong pada 24 Oktober dengan nama Aqil Barraq Badruddin. Saat Andrea menginjak usia remaja ia merasa terbebani dengan nama itu dan akhirnya berganti nama menjadi Wadhud, sebelum akhirnya menggantinya lagi menjadi Andrea Hirata Seman Said Harun. Lahir dan besar di lingkungan miskin di daerah terpelosok Belitong tidak membuatnya kehilangan semangat belajar. Ketika merantau di Bogor mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nasib baik menyambutnya dan ia mendapat beasiswa Uni-Eropa untuk mengambil S2 di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University. Setelah lulus cum laude Andrea kembali ke tanah air dan bekerja di PT Telkom. Meskipun begitu hal ini tidak menguburkan niatnya untuk menulis. Iseng menyusun naskah Laskar Pelangi, ternyata novel pertamanya ini mendapat perhatian besar masyarakat yang membesarkan namanya hingga kini.
            Bagi pembaca setia karya Andrea Hirata, dwilogi ini sekaligus menjawab pertanyaan tak terjawab di Maryamah Karpov. Tetapi sesungguhnya melalui novel ini, Andrea Hirata mengajak kita untuk melalui Enong ─yang juga memerjuangkan emansipasi wanita di kampungnya─ untuk selalu tabah dalam menjalani kehidupan berikut lika-likunya karena seperti kata Enong, ”Aku telah menangisi ibuku semalaman, Boi, aku tak kan menangis lagi.” Masalah hari ini biarlah untuk hari ini tetapi kita tetap harus menjalani hidup. Melalui novel yang sama Andrea ingin menyuguhkan para pembacanya nilai-nilai yang telah lama terlupakan dan dikemas secara apik lewat cerita tentang perjuangan seorang wanita di atas papan hitam putih layaknya sebuah epos. Bahwa wanita itu tak pernah mengenal catur dan bahkan trauma terhadap catur patut menjadi catatan. Belajar tidak mengenal batasan dan ketika Anda mau, disaat itulah Anda mampu belajar. Dengan demikian belajar dengan keras hanya dapat dilakukan orang yang bukan penakut dan bertekad baja. Andrea Hirata sukses membuktikan bahwa novelnya dengan genre tak umum namun mengemas sisi lain kehidupan sehari-hari ini selain mampu menambah wawasan pembaca tetapi juga mampu disandingkan dengan novel percintaan remaja yang sedang tren. Tak hanya menyasar generasi muda yang haus akan nilai kehidupan, novel ini juga menyasar pembaca dewasa tak terkecuali pembaca lanjut usia yang ingin sekedar bernostalgia akan kehidupan masyarakat Melayu tradisional yang mulai pudar. 


***

Yak, seperti yang gue bilang di atas sih semua penilaian gue.. Ini membahas tuntas masalah Maryamah Karpov, saking tuntasnya sampai di novel yang kedua si Ikal gak pergi-pergi juga ke Jakarta. Gue suka sih sama novel yang ini, karena pemberian judulnya lebih baik daripada di buku sebelumnya.

Ohya.. Review gue gak asik tanpa spoiler! Jadi, kerennya disini itu permainan caturnya si Maryamah yang seperti menemukan rumah yang tak pernah ditemukannya, catur. Kerennya lagi dia berhasil membela martabatnya sebagai wanita dengan mengalahkan mantan suaminya lewat catur.

Gak enaknya adalah gue gak ngerti dengan timeline-nya. Di Maryamah Karpov, si Maryamah punya anak yang namanya Nurmi dan pandai memainkan biola. Tapi Nurmi sama sekali tak disebut di Dwilogi Padang Bulan. Selain itu seharusnya saat Ikal bertemu Nurmi di Maryamah Karpov, Ikal baru pulang ke Belitung dan belum bekerja di warung kopi pamannya. Disini Nurmi sudah dijelaskan bahwa dia adalah anak dari Maryamah yang disebut Maryamah Karpov. Tapi di Dwilogi Padang Bulan, Maryamah barulah disebut Maryamah Karpov setelah dia mengalahkan Matarom, mantan suaminya. Dan hal ini terjadi ketika Ikal sudah agak lama tinggal di Belitung. Bingung? Saya juga.

Anywayyy ini buku yang bagus buat kalian bacanya, ceritanya ringan tapi bahasanya tidak. Lumayan memukau!

Rate 3.6 / 5.0

No comments:

Post a Comment